Sabtu, Maret 21, 2009

Positioning Dalam Industri Musik Indonesia - Perlunya Menghapus Mental Bangsa Yang Terjajah Sebelum Bisa Menerapkannya

Tulisan ini sangat diilhami oleh buku ‘Positioning’ karya Al Ries dan Jack Trout. Buku ini sudah lama beredar sejak tahun 1981, namun saya baru berkesempatan membacanya beberapa waktu yang lalu setelah direkomendasikan oleh dosen saya. Saya menggunakannya untuk landasan teori Tugas Akhir saya, yaitu ‘Promosi Album Baru Netral’. Walaupun tidak ditujukan secara khusus untuk kepentingan industri musik dan lebih kepada industri consumer goods, tetapi di dalamnya banyak poin yang saya rasa sesuai untuk dapat diterapkan dalam industri musik Indonesia. Saya juga sempat mengirim e-mail kepada Al Ries, menayakan apakah teori-teorinya bisa dipakai dalam industri musik, ia menjawab bahwa teorinya cukup fleksibel untuk dapat diterapkan di berbagai bidang, termasuk industri musik.


Positioning bukanlah melakukan sesuatu pada produk, tapi positioning adalah apa yang dilakukan produsen terhadap benak calon konsumen. Dalam dunia yang kebanjiran informasi ini positioning diperlukan karena konsumen mengalami kebingungan dalam memilih produk yang semuanya kelihatan sama menggoda. Namun seperti yang diingatkan oleh Rhenald Kasali dalam Kata Pengantar ‘Positioning’, bahwa sebelum melakukan positioning ini, produknya harus dibenahi dulu, sehingga tidak menipu konsumen atau menjadi ‘manipulator persepsi’. Sebagai contoh positioning, mari kita lihat persaingan Coca-Cola dan Pepsi Cola. Coca-Cola adalah the real thing sementara Pepsi adalah the next generation. Coca-cola memposisikan dirinya sebagai minuman cola sejati yang menggunakan nuansa kekeluargaan dengan ikon Sinterklas, sementara Pepsi menggunakan Michael Jackson dan Britney Spears untuk memperkuat citranya sebagai minuman untuk generasi muda. Dalam persaingan ini Coca-Cola mempunyai keuntungan sebagai yang pertama membuat minuman cola sehingga dalam popularitas dan keuntungan, Coca-Cola selalu berada di depan Pepsi.


Positioning dalam industri musik

Bagaimana dengan industri musik? Menurut Al Ries, semakin musisi bisa mendefinisikan dirinya (musik, lirik, penampilan, dll) secara spesifik, semakin besar kemungkinan ia akan berhasil secara komersial. Menjadi yang pertama dalam suatu genre adalah sebuah keuntungan yang tak ternilai dalam industri musik, sama seperti kisah Coca-Cola dan Pepsi di atas. Contoh: apabila disebut kata Grunge. Apa yang terlintas di kepala anda? Apakah Silverchair, Bush, Mudhoney, The Melvins? Bukan, pastilah Nirvana! Karena dialah band Grunge yang pertama (sukses)! Daftarnya bisa semakin panjang. Rock N Roll= Elvis. Hip Metal=Limp Bizkit. Speedmetal=Metallica. Punk Rock= Sex Pistols. Nu Metal=Korn. Industrial= Nine Inch Nails, dll.

Beberapa dari mereka memang bukan penemu dari genrenya. Seperti Nirvana, sound seperti mereka banyak ditemui di komunitas Seattle, seperti The Melvins. Yang membedakannya adalah Nirvana, manajemen dan produsernya lebih total dalam berpromosi, sehingga yang terlihat adalah Nirvana sebagai band pelopor Grunge dan bukannya The Melvins, atau lainnya yang lebih cenderung ‘underground’. Atau lihat Sex Pistols. Mereka bukan penemu Punk Rock, tapi manajernya, Malcolm McLaren begitu agresif dalam mencitrakan Sex Pistols sebagai band Punk paling kontroversial pada masanya, sehingga apabila membicarakan Punk, pasti orang langsung teringat Sex Pistols dan image-nya yang ‘urakan’.

Suatu genre juga bisa dipilah-pilah lagi. Band Grunge yang anggotanya remaja= Silverchair. Pop-Punk= Greenday. Pop-Punk dengan sentuhan porno= Blink 182. Industrial dengan penampilan yang kontovesial= Marilyn Manson. Walaupun musiknya tidak jauh berbeda, keunikan sebuah band/musisi bisa diperoeh dari hal-hal lain. Karena dalam industri musik, yang dijual bukan hanya musik saja. Yang utama memang musik, tapi konsumen juga melihat penampilan panggung, lirik, sikap (attitude), dan lain-lain yang ikut membangun sebuah image sang musisi/band. Lebih sukses mana, New Edition atau New Kids On The Block? New Edition skill beryanyinya lebih baik, tapi New Kids image-nya digarap lebih baik sehingga secara komersial lebih berhasil.

Walaupun dalam suatu genre terdiri dari banyak band dengan sound yang sejenis dan sepertinya mengambil lahan band sebelumnya, adalah tidak bijaksana untuk mematikan persaingan karena yang membuat genre itu kuat adalah band-band yang memiliki sound sejenis itu. Apabila diterima pasar, genre tersebut dapat menjadi trend yang tentu semakin meningkatkan popularitas musisi dalam genre itu, terutama sang pelopornya.

Situasi di Indonesia
Dalam menerapkan positioning ini tentu memerlukan persiapan yang matang, dan dana yang memadai. Hal ini yang sepertinya masih kurang dalam industri musik Indonesia. Ambil contoh Netral. Ia bisa dibilang sebagai band Punk Indonesia yang pertama masuk dalam major label. Musik, lirik, dan penampilannya orisinal, tidak seperti band-band lainnya Tapi sayang, produser kurang gencar dalam mempromosikannya. Mereka bersikap menunggu reaksi pasar dalam melakukan promosi. Sehingga ketika pasar bereaksi, mereka sudah terlambat untuk mengantisipasi. Mungkin label yang patut ditiru adalah Sony Music Indonesia. Sheila On 7, Padi, dan Rif adalah nama-nama besar dalam industri musik Indonesia. Hal ini tak terlepas dari penerapan strategi positioning yang jelas. Sheila On 7 yang dekat dengan ‘ABG cewek’ lagunya beberapa kali dijadikan soundtrack sinetron remaja, Padi yang musiknya lebih ‘universal’ diberi kesempatan ‘go international’ melalui Soundtrack Piala Dunia 2002 dan penampilannya di MTV Asia Award bersama M2M. Rif yang segmennya remaja penggemar rock senantiasa “diremajakan” dengan pemunculannya di iklan Coca Cola, Starmild (Andi Rif), selain juga mengisi soundtrack film Spider-Man.

Padi sebagai band papan atas Indonesia patut mendapat acungan jempol karena berhasil menciptakan genre tersendiri. Setahu saya belum ada yang memberi nama aliran ini. Rock melankolis, mungkin? Sekarang banyak ditemui band-band dengan sound sejenis, salah satunya…..Tiket! Selamat ya, buat Tiket karena saya dengar hasil penjualannya tidak mengecewakan. Lumayan lah, sebagai band nomor dua.

Mental ‘latah’ inilah yang kebanyakan dimiliki oleh para produser dan musisi Indonesia. Mereka tidak berani membuat gebrakan atau trend, mereka hanya bisa meniru dan mengikuti trend. Musim Hip Metal, ikut. Musim Ska, ayo. Musimnya musik Padi, Oke. Sehingga apa yang muncul ke permukaan adalah musisi-musisi peniru yang tidak kreatif. Secara skill mungkin hebat, lebih hebat dari musisi luar mungkin. Tapi dari segi orisinalitas? Nol besar. Mudah dipahami karena banyak dari musisi Indonsia yang sebelumnya terbiasa membawakan lagu-lagu/komposisi orang lain (cover band). Pengaruh dari luar memang besar sekali dan kita tidak bisa menutup mata. Tetapi pengaruh tersebut bisa diminimalisasi apabila kita tidak terlalu sering membawakannya. Suatu hal yang penting apabila anda ingin menciptakan karya yang orisinal, apalagi membuat trend baru. Pendeknya menjadi band kover (cover band) mematikan kreatifitas. Jangan lakukan, sebelum terlambat. (catatan: tulisan ini juga dipengaruhi oleh buku ‘Positioning’ karya Al Ries dan Jack Trout, tetapi saya mencoba melihatnya dari sudut pandang yang lain dan menggabungkannya dengan pemikiran saya sendiri. Sumpah!)

Kesimpulan

Mental latah=band kover=pengekor=nomor dua. Pemikiran ini sejalan dan dapat disamakan dengan mental bangsa yang terjajah. Untuk apa anda menjadi nomor dua kalau bisa menjadi nomor satu? Untuk apa menjadi “the next Nirvana”, “Bob Dylan-nya Indonesia”, kalau ada bisa sukses menjadi diri anda sendiri. Orang memang senang membanding-bandingkan dan kadang-kadang agak keterlaluan, tapi mereka tidak akan melakukan itu kalau anda memang benar-benar berbeda dari yang lain. Ciptakan kategori untuk anda sendiri daripada menjejalkan diri ke dalam kumpulan sebuah genre yang sudah penuh sesak, seperti Hip-Metal. Lupakan saja, Limp Bizkit cuma ada satu, yang lain poser. Sehebat apapun, anda cuma akan menjadi nomor dua. Untuk apa?

Semakin unik diri anda semakin mudah untuk melakukan positioning dan apabila anda melakukannya dengan totalitas yang tinggi, kesuksesan akan menjadi imbalannya. Di luar negeri, mental latah banyak juga ditemui, namun keadaannya lebih parah di Indonesia. Di sini masyarakatnya telah terbiasa dengan pembajakan, korupsi, penipuan, kolusi, premanisme, nepotisme, dll. Mental bangsa yang terjajah inilah yang harus dibenahi sebelum bisa menerapkan positioning yang memerlukan mental untuk menjadi nomor satu.

(Tulisan berikutnya dari rangkaian tulisan jadul gue. Tenang, masih ada lagi!)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

good..
thankz..