Selasa, April 18, 2017

Politik Karikatur

@Trutherbotred

Karikatur adalah seni menggambar atau menulis tentang seseorang dengan melebih-lebihkan pada bagian-bagian tertentu. Tujuannya bisa untuk memperjelas identitas orang yang tersebut, atau—yang lebih sering—untuk menertawakan kekurangannya. Begitu pula yang terjadi dalam ranah politik. Saat kubu-kubu politik “berkelahi”, mereka mempraktekkan prinsip-prinsip karikatur tersebut. Kubu A saat menyerang kubu B mencoba mencitrakan musuhnya sejelek mungkin.

Tentang Trump
Contoh di Amrik dulu deh (hehehe…sabar ya, belum mbahas Ahok). Kubu partai Demokrat mencitrakan Trump sebagai orang yang ultra-konservatif, rasis, fasis, misoginis (merendahkan wanita), homofobik, dlsb. Sebaliknya, Trump pun meng-karikatur-kan lawan-lawannya. Bahkan seperti layaknya film kartun, ia memberi nama kepada mereka: “Crooked Hillary”,“Lying Ted”, contohnya. Atau dengan meng-highlight personality mereka, seperti Jeb Bush yang disebut sebagai orang yang "low energy” atau Obama yang disebut “incompetent leader”. Daftar lengkap hinaan Donald Trump di Twitter kepada lawan-lawan politiknya ada di sini. 

Mengapa Trump melakukan “politik karikatur” ini? Kalo meminjam ilmu marketing, sepertinya ini disebabkan pasar politikus yang overcrowded. Calon-calon presiden dari partai Republik yang punya peluang kurang lebih sama jumlahnya cukup banyak: John Kasich, Ted Cruz, Marco Rubio, Ben Carson, Jeb Bush, Jim Gilmore, Chris Christie, Carly Florina, Rick Santorum, Mike Huckabee, dan (jagoan gue) Rand Paul. Trump perlu melakukan politik karikatur yang ekstrim supaya stand out dari yang lain. Sama dengan sebuah brand baru yang mencoba bersaing di lorong Supermarket yang udah sesak dengan brand-brand sejenis. Ia harus melakukan segala cara agar dilirik konsumen.

Melakukan strategi politik karikatur memang lebih simpel dan efektif. Padahal kalo mau jujur, nggak ada orang yang mutlak jelek. Tapi susah kan, membuat strategi komunikasi yang berkata “Hillary itu korup, tapi ia juga gigih dan peduli pada semua kalangan”. Tentu lebih mudah kalo mencitrakannya sebagai pribadi yang tidak bisa dipercaya, manipulatif, ambisius, pokoknya crooked lah. (Ingat dalam marketing: single-minded proposition!)

Di Indonesia
Bagaimana dengan (eng ing engg…) di Indonesia? Seperti yang kita alami sejak pemilihan presiden 2014 sampai Pilkada DKI Jakarta 2017, keadaannya gak jauh berbeda. Padahal secara ideologis, partai-partai di Indonesia semuanya (pada dasarnya) nasionalis. Tentu ada partai-partai yang menambahkan unsur agama atau lainnya, tapi nggak bisa (tampil) terlalu ekstrim karena ada kewajiban menjadikan Pancasila sebagai asas dasar partai.

Tapi tetap saja, terutama belakangan ini dengan kasus Ahok—thanks to para perancang strategi kampanye dan juga kedua belah pendukung paslon— seolah-olah di masyarakat ada dua kubu: Nasionalis yang "dikarikaturkan" menjadi liberalis dan Islamis yang dicitrakan sebagai Wahabi. Padahal mereka yang disangkakan liberalis nggak seekstrim para liberalis di Amerika atau di Eropa dan kubu yang dituduh Wahabi pun gak seekstrim yang ada di negara-negara Arab. Kalo mau obyektif ya demikian, tapi saat berantem offline maupun online, yang tergambar di otak masing-masing adalah seburuk-buruknya stereotyping.

Bertobatlah Wahai Bani Karikatur!
Mau tobat dari melakukan politik karikatur? Saya punya resepnya. Pertama-tama bukalah situs Political Compass. Ikuti tesnya, lihat dimana anda berada dan lihat juga bagaimana tokoh-tokoh dunia seperti Hitler, Mandela, Gandhi dan lain-lain berada. Menarik bahwa kadang mereka yang berkelahi posisinya gak jauh berbeda dalam political compass. Sehingga apabila mereka mau berdiskusi sedikit saja, mungkin akan menemukan persamaan.

Tools pada Political Compass menunjukkan bahwa preferensi politik seseorang gak ada yang sifatnya hitam-putih seperti tokoh protagonis dan antagonis di sinetron. Political compass menganggap pembagian “kiri” dan “kanan” kurang menggambarkan pandangan politik seseorang secara akurat karena preferensi politik yang dipengaruhi kepribadian seseorang itu amat lah kompleks. 

Mau resep lagi? Coba lihat iklan dari TV2 Denmark ini yang menonjolkan persamaan dari berbagai orang yang kita anggap berbeda. Menjadi judgmental dan terlalu mengkotak-kotakkan orang terlihat tolol dalam social experiment itu.




Jadi sudah ya…jangan mau “dibodohi” kalo bersimpati pada Ahok itu berarti menyembah Ahok layaknya berhala, dan jangan terlalu cepat memvonis mereka yang jenggotan dan berjidat item sebagai ekstrimis ISIS. Cobalah untuk nggak terlalu baper dalam berpolitik dan tempatkan semua pada proporsinya. Akal sehatmu akan berterima kasih untuk itu. 

2 komentar:

Private! mengatakan...

mantaaaappp

zzz mengatakan...

mantaap