Kamis, Mei 24, 2018

Teroris, Teori Konspirasi dan Islamophobia-Phobia


Aksi terorisme kembali marak di Indonesia. Nggak tanggung-tanggung, dalam waktu seminggu lebih seluruh rakyat Indonesia dibuat tegang oleh serangkaian aksi yang manjatuhkan banyak korban jiwa.

Drama teror ini berawal dari tanggal 8-9 Mei saat terjadi kerusuhan di blok tahanan narapidana teroris di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat yang berujung pada tewasnya lima orang polisi dan satu orang narapidana. Konon kabarnya pemberontakan tahanan di Mako Brimob itu disebabkan oleh petugas lapas yang menghambat kiriman makanan untuk narapidana. 

Polisi tadinya bersikeras bahwa kerusuhan itu nggak berkaitan dengan ISIS, walaupun ISIS udah ngaku bertanggung jawab lewat kantor berita Al Amaq. Baru lah setelah beberapa hari penyelidikan dan Kapolri Tito Karnavian datang dari kunjungannya di Yordania, Polisi mengonfirmasi bahwa para pelaku dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang udah berbai’at kepada ISIS.


Pada Jumat, 11 Mei dini hari terjadi insiden teror kembali. Polisi yang curiga dengan gerak-gerik seorang lelaki membuatnya tergerak untuk memeriksa lebih lanjut di kantor Mako Brimob. Namun sesampainya di lokasi, lelaki tersebut menusuk para polisi menggunakan pisau yang disembunyikan di celananya. Aksi teror selesai? Ternyata itu baru pembukanya. Selanjutnya nggak kalah mengerikan.

Minggu pagi tanggal 13 Mei, seluruh negeri dibangunkan oleh aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya dalam jangka waktu yang berdekatan. Yang lebih bikin nggak habis pikir adalah para pelakunya itu satu keluarga dan melibatkan anak-anaknya yang masih kecil. 

Pada malam harinya, kita dikejutkan lagi oleh pemberitaan bom yang meledak di sebuah Rusunawa di Sidoarjo. Karena dekat kantor polisi, diasumsikan ada teroris yang mengacau di sana. Namun ternyata ledakan itu akibat seorang teroris yang nggak sengaja meledakkan bom saat sedang dirakit, mengajak serta satu istri dan satu anaknya ke akhirat.

Esok harinya, aksi terorisme yang melibatkan satu keluarga terjadi lagi. Kali ini di Polrestabes Surabaya, tepatnya saat pemeriksaan kendaraan di pintu masuk. Menggunakan sepeda motor, satu keluarga yang terdiri dari ayah, istri, dan dua anak meledakkan diri. Ajaibnya, satu anaknya selamat tanpa cedera yang parah.

Pada tanggal 16 Mei, sehari sebelum bulan Ramadan, terjadi aksi teror lagi di Mapolda Riau. Sekelompok teroris turun dari mobilnya dan menyerang beberapa polisi dengan samurai. Satu orang polisi tewas. 

Ledakan Teori Konspirasi
Rangkaian aksi teror terutama dengan bom-bom bunuh diri tersebut memang merisaukan, tapi yang nggak kalah parah adalah “ledakan” reaksi yang bermunculan. Di social mediacukup banyak pendapat-pendapat yang bukannya mendukung pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, malah bernuansa teori konspirasi. 

Ya, teori konspirasi yang dulu cuma diikuti oleh segelintir orang, kini sepertinya udah menjadi mainstream. Salah satu pelopor teori konspirasi di Indonesia adalah Mustofa Nahra. Mantan jurnalis yang gue juluki “Alex Jones-nya Indonesia” ini dengan cepat mencurigai kalo kejadian ini semua adalah settingan untuk menjelekkan umat Islam, pengalihan isu dollar dan gerakan Ganti Presiden, dan lain-lain yang ujung-ujungnya menyalahkan pemerintah. 








Namun yang lebih mencengangkan adalah para elite partai politik dan tokoh masyarakat seperti Hidayat Nur Wahid dan Din Syamsuddin turut memainkan sentimen ini, bahwa seolah-olah ada grand design untuk menyudutkan umat Islam. Kalo mereka yang di atas aja bersikap sinis seperti ini, gimana mereka yang di grass root? 





Islamophobia Phobia
Umat Islam yang bersikap denial ini sulit menerima kalau ajaran Islam yang sering disebut sebagai rahmatan lil 'alamin bisa diselewengkan sampai membuat pengikutnya melakukan aksi teror. Padahal Islamnya memang satu, tapi pemahaman manusia bisa beragam dari yang liberal sampai yang radikal.

Dalam pidatonya, Jokowi pun bisa digolongkan kepada umat Islam yang denialTerdengar indah pada level diplomasi, seperti layaknya Obama yang nggak mau menyebut “Islam radikal” demi menjaga perasaan umat muslim di seluruh dunia. Sikap itu cocok untuk diterapkan di negara Barat yang minim pengetahuan soal Islam sehingga dikhawatirkan bisa menumbuhkan Islamophobia yang berujung pada persekusi. Namun di Indonesia? Sulit kayaknya membayangkan kasus persekusi terjadi di negara yang mayoritasnya muslim ini. Kasus yang digoreng kubu oposisi sebagai persekusi terhadap wanita bercadar ini pun terbukti hoax
Islamophobia nggak ada. Yang ada adalah Al Qaeda-phobia, ISIS-phobia, Islam radikal-phobia, dsb. Kalo orang-orang di negara Barat akan sulit membedakan Islam radikal dan moderat karena kurangnya pengetahuan mereka tentang Islam. Namun di Indonesia, jumlah muslim yang cinta damai lebih banyak dan bisa mengedukasi mereka yang nggak ngerti. Jadi janganlah kita terjangkit “Islamophobia-Phobia”, alias punya rasa khawatir yang berlebihan terhadap terjadinya Islamophobia. 

Cara Bersikap
Apa pikiran pertama yang terlintas di pikiran lu saat pengeboman gereja di Surabaya itu? Takut? Kabur ke luar neger? Ngumpet di bunker? Mengutuk kejadian itu di sosmed? Berteori konspirasi di sosmed? Pernah nggak mikir tentang korbannya, apa yang bisa lu lakukan untuk mereka yang terluka? Masyarakat Surabaya yang membanjiri PMI untuk mendonorkan darahnya bagi para korban teror bom kemarin ini sangat terpuji. Ini jauuuh lebih bermanfaat daripada nyinyir di sosmed, asal njeplak bahwa ini settingan, mewek kalo nanti yang disalahkan umat Islam. Kalo lu percaya Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi alam semesta, berlakulah seperti itu. Jadilah humanis sebisa mungkin. 

Kenapa belakangan ini Islam identik dengan teroris? Ya karena kebanyakan pelaku aksi-aksi terorisme yang berskala besar adalah Al Qaeda, ISIS, dan semacamnya. Belum lagi aksi-aksi fasis kayak ini, sama sekali nggak membantu mengikis citra Islam yang negatif. Kalo mau membuat statement, aksi yang simpatik seperti yang dilakukan para muslimah bercadar ini patut dicontoh.


Kita nggak bisa mengontrol aksi terorisme, dan kita nggak tau ini semua konspirasi besar atau bukan. Yang bisa dilakukan adalah bersikap lebih rasional dan perbanyak aksi-aksi nyata yang bisa meminimalisir citra Islam yang negatif. Seperti kata Ali Imron, mantan anggota Jamaah Islamiyah pelaku bom Bali, apabila ada kejadian terorisme jangan buat komentar yang menyalahkan pemerintah atau mengatakan itu konspirasi dan lain sebagainya, nanti terorisnya kipas-kipas seolah mendapat dukungan masyarakat. Jadi, masih mau dukung teroris? 



Tidak ada komentar: