Senin, Oktober 16, 2017

Seminar Kreatif yang Kurang Kreatif

Tulisan ini ditujukan terutama untuk para pembicara seminar/ talk show/ presentasi dan lain sebagainya yang membahas tentang kreatifitas periklanan. Sebenarnya lebih tepat kalo gue sampaikan uneg-uneg ini saat acaranya berlangsung. Tapi cukup banyak pertimbangan yang membuat gue urung melakukan itu, salah satunya takut terjadinya amuk massa oleh para pendukung fanatik pembicara seminar. Jadi gue rasa nge-blog tentang masalah ini lebih bijaksana. Oke kita mulai…

Gue biasanya menghadiri sebuah seminar tentang kreatifitas iklan (selanjutnya disebut “seminar kreatif”) karena tertarik dengan topik dan pembicaranya. Keduanya adalah hal yang nggak terpisahkan. Topik seminar tentu sebagai intinya, yang bisa menginspirasi atau menambah pengetahuan tentang kreatifitas, sementara sang pembicara menguatkan pembahasan tersebut. Semakin hebat reputasi seorang pembicara di dunia kreatif, semakin yakinlah gue dengan topik yang ia presentasikan.

Jadi gue datang ke sebuah seminar kreatif dengan ekspektasi yang tinggi. Gue mengharapkan sang pembicara mengantarkan materi yang belum pernah gue dapatkan sebelumnya, dan gue akan keluar dari seminar dengan penuh pencerahan. Namun, walaupun banyak juga seminar kreatif yang memenuhi harapan, beberapa kali gue harus pulang dengan kekecewaan. Contohnya saat gue menghadiri sebuah seminar dimana pembicaranya adalah insan kreatif lokal yang kini menjadi pengarah kreatif di luar negeri. Saat itu gue berharap sang jenius muda ini untuk membagikan kiat-kiat dan pengalamannya dalam membuat karya-karyanya yang berkelas internasional. Tapi yang ia presentasikan nggak jauh beda dengan dosen-dosen ilmu periklanan biasa: memperlihatkan studi kasus iklan-iklan dari luar negeri yang memenangkan berbagai penghargaan iklan kelas dunia dan seraya mengatakan “Ini lho, hai ‘rang iklan jelata….iklan-iklan yang keren!” Padahal gue yakin 80 persen peserta seminar udah pernah melihat iklan-iklan tersebut.

Contoh lain lagi adalah yang baru-baru ini gue alami dan menjadi alasan utama gue menulis postingan ini. Pembicaranya adalah seorang tokoh lama dunia periklanan Indonesia. Karya-karyanya yang award winning cukup banyak. Tapi ya, sebelas-duabelas dengan contoh pertama, ia mempresentasikan iklan-iklan luar negeri (bukan bikinannya sendiri) yang menang di berbagai festival iklan. Bedanya, iklan-iklan tersebut ia masukkan ke dalam beberapa kategori. Walau tindakannya bisa dibenarkan—mengingat tema seminarnya adalah “trend periklanan terkini”—namun ada baiknya, dan akan terasa lebih membumi kalau menyertakan iklan-iklan yang ia buat, atau minimal buatan dalam negeri.


Kenapa orang-orang kreatif yang hebat itu nggak menampilkan karya-karyanya sendiri sebagai contoh kasus? Apakah mereka punya sistem filing yang buruk sehingga dokumentasi karyanya hilang atau nggak lengkap? Apakah mereka merasa nggak enak hati kalo terlalu lama membicarakan dirinya sendiri? Hehehe…


Sebagai orang yang terlibat langsung dalam pembuatan sebuah iklan, pastilah ia bisa menjelaskan prosesnya dengan panjang lebar. Berbeda kalau mempresentasikan iklan orang lain. Selengkap-lengkapnya informasi studi kasus yang tersedia, pastilah ada hal-hal kecil (tapi menarik) yang terlewat. Seperti saat gue menghadiri workshop kreatifnya John Merrifield. Dalam kesempatan itu ia mempresentasikan karyanya yang fenomenal untuk Adidas, “Vertical Football”. 

John bisa menceritakan latar belakangnya: Adidas Jepang nggak punya budget sebesar kompetitor, namun ia dan timnya udah gatal pengen membuat karya yang spektakuler. Maka John mengusulkan kepada kliennya untuk mengalokasikan budget iklan Adidas selama setahun untuk membuat billboard hidup tersebut. Desain awal billboard adalah berbentuk seperti lapangan bola biasa (mendatar), namun untuk membuatnya akan memakan dana yang luar biasa besar karena harus membangun konstruksi baru. Maka desainnya direvisi dengan memanfaatkan konstruksi billboard yang sudah ada: 2 pesepakbola bermain dalam posisi miring menggunakan tali pengaman. Konon kalau dihitung-hitung, nilai exposure media yang didapat (earned media) adalah US$300juta, melebihi ongkos pembuatan billboard sebesar US$200.000.

Penjelasan tentang sebuah karya yang mendalam seperti contoh di atas tentu sangat menarik bagi peserta seminar. Materinya menjadi lebih unik, dan sang pembicara menjadi tak tergantikan. Seandainya orang lain membawakan materi billboard “Vertical Football”, belum tentu ia bisa mempresentasikannya sekaya John Merrifield (kecuali elo kali, setelah membaca tulisan ini).

Di era dimana semuanya mudah untuk di-googling, pembicara seminar kreatif nggak bisa lagi sekedar mengandalkan materi-materi hasil googling. Kalaupun iya, ia harus membungkusnya dengan cara yang lebih canggih (be creative!)

Jangan sampai nanti makin banyak orang yang kayak gue, skeptis terhadap para pembicara seminar kreatif, dan menganggap untuk menjadi pakar iklan di Indonesia itu cukup mudah: tinggal kumpulin iklan-iklan pemenang award internasional, lalu presentasikan dengan penuh keyakinan.

Tidak ada komentar: