Senin, April 24, 2017

Ahok Sang Penista - Politik Karikatur Part II

Pilkada DKI 2017 yang melelahkan telah usai. Walau belum diresmikan KPU, tapi sudah hampir dipastikan kalo pemenangnya adalah pasangan Anies Baswedan - Sandi Uno. Pasangan petahana, Ahok - Djarot harus rela meninggalkan Balai Kota dengan kekalahan yang cukup telak.


Setalah putaran pertama, secara matematis, memanglah Anies yang diprediksi menang berkat tambahan suara dari para pemilih Agus - Silvy. Namun nggak ada yang menyangka kalo jarak perolehan suara Ahok dan Anies akan begitu jauh, meleset dari perkiraan berbagai lembaga survei. SMRC memprediksi suara Anies - Sandi 47,9%, sementara Ahok 46,9%. LSI memprediksi selisih 9%, yang juga kurang signifikan. Banyaknya jumlah pemilih yang belum menentukan pilihan saat survei dilakukan diduga menjadi penyebab melesetnya berbagai prediksi.


Politik Karikatur at Work
Exit Poll SMRC pasca-pencoblosan menunjukkan sebagian besar orang memilih Ahok karena programnya (30,6%) , sementara para pemilih Anies paling banyak atas dasar kesamaan agama (26%), yang memilih karena programnya hanya 11%. Fakta ini inline dengan survei SMRC sebelumnya yang mengungkapkan bahwa 75% warga DKI puas dengan kinerja Ahok. Lalu kenapa mereka yang puas ini nggak memilih Ahok saat pencoblosan? Dari data exit poll di atas mengindikasikan kalo faktor agamalah penyebabnya. Ini inline juga dengan postingan gue sebelumnya tentang Politik Karikatur. Ahok sukses di-karikaturkan sebagai “Ahok sang penista”. Kalo dibuat filmnya mungkin bisa menyaingi popularitas Ivan the Terrible atau Conan the Barbarian.




Terlepas dari kurang etisnya cara kemenangan Anies yang diwarnai unsur SARA, kita harus mengakui keunggulan strategi kampanyenya. Mereka berhasil menunggangi kasus tuduhan penistaan agama oleh Ahok secara maksimal. Ibaratnya kampanye iklan, bisa dibilang mereka melakukan kampanye 360 derajat, yang menjangkau target audience pada setiap lini dengan pesan tunggal: “Ahok sang penista”. Uniknya, pendekatan komunikasi mereka berbeda di tiap media. Di level media massa mainstream, seperti debat di TV, Anies menjauhi isu SARA. Ia tampil seolah-olah sebagai figur intelektual yang peduli dengan rakyat miskin. Ahok "cuma" dikarikaturkan sebagai pemimpin yang menakutkan dan tidak mengayomi warga. Namun secara on ground (spanduk-spanduk di jalanan, selebaran kampanye hitam, ceramah-ceramah politik di mesjid) dan online (propaganda di media internet dan medsos), isu agama—tepatnya “Ahok sang penista”—dijual secara gamblang. 

Tim Anies bisa mengelak bahwa itu bukan kampanye resmi dari mereka, bahwa terlalu banyak relawan yang susah dikontrol, dlsb., namun itu adalah konsekuensi saat Anies “bermesraan” dengan FPI. Kalo Anies benar-benar sama sekali nggak mau menunggangi isu “Ahok sang penista” dan agama secara umum, seharusnya upaya timnya lebih keras daripada sekedar membuat konferensi pers menentang isu SARA. Dan seharusnya Anies bisa memarahi Fadli Zon saat ia membuat kompetisi pembacaan sajak “Sang Penista” di YouTube atau melabrak Rizieq saat mengumandangkan lagu “Ahok Durjana” di berbagai kesempatan. Ya, memang sulit apabila sesuatu telah menjadi "viral", siapapun akan sulit menangkalnya. Apalagi sudah berkaitan dengan FPI dan dukungan kuat jaringan Prabowo dan taipan-taipannya. Anies mau melawan? Mr. Wowo tinggal bilang: “You mau menang apa nggak? Just sit down and shut up, boyyy”.


Menyinggung Prabowo, menarik untuk dicermati kalo sebelum Prabowo turun tangan all out membantu kampanye Anies - Sandi, posisi mereka di polling berada di urutan paling buncit . Isu “Ahok sang penista” dan FPI kala itu masih lebih dekat dengan kubu Agus. Beberapa manuver tingkat tinggi kemudian, terutama saat Anies berpidato di markas FPI, elektabilitas Anies pun melonjak.

Rekonsiliasi
Terlepas dari penilaian etis atau tidak etis, Anies - Sandi menjadi pemenang Pilkada DKI 2017 yang harus kita semua terima dengan lapang dada. Berilah contoh kepada Amerika Serikat kalo kita—terutama “Ahokers”—punya sikap yang lebih dewasa dalam menerima kekalahan, nggak melakukan protes/ kerusuhan seperti saat Trump menjadi pemenang pilpres Amerika Serikat.

Secara program, sesungguhnya antara Anies dan Ahok nggak berbeda jauh, karena basis kebijakannya adalah menciptakan keadilan sosial. Seandainya ditaruh di grafik Political Compass, pasti posisinya masih berdekatan. Seperti yang kita saksikan di acara-acara debat, bukan fundamental program Anies yang dipersoalkan Ahok, tapi bagaimana implementasinya? Coba bayangkan kalo ada calon yang mengusung Libertarianisme, yang menganggap kesejahteraan sosial bukan urusan pemerintah, bisa kejang-kejang kita.

Selain program-program Anies - Sandi yang harus ditagih realisasinya, hal yang terpenting adalah merangkul warga minoritas yang merasa jengah dengan tren “Islamic supremacy” yang mengemuka akhir-akhir ini. Memang rasanya nggak mungkin kalo kaum muslim Indonesia bisa bertindak mengerikan seperti halnya di video kampanye Ahok - Djarot ini, tapi keresahan itu ada bukan tanpa alasan. Aksi 212 yang walaupun berlangsung relatif damai, menampakkan beberapa sentimen anti-minoritas. Belum lagi spanduk-spanduk kafir-kafiran yang (masih) berterbaran di jalanan, khotib-khotib di mesjid dengan pengeras suara mengobarkan pesan-pesan kebencian, jauh dari kesan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Akhirul kata, ijinkah gue meminjam istilah dari dunia advertising—tepatnya dari pak John Merrifield—mengenai brand belief dan brand behavior. Brand belief adalah ideologi atau keyakinan sebuah brand, what does the brand stood for. Sedangkan brand behavior adalah perilaku brand, segala hal yang dilakukan dan yang tidak dilakukan brand. Bisa berwujud iklan, atau yang lebih penting adalah perilaku brand terhadap audience-nya di lapangan. Seharusnya sebuah brand mempunyai keselarasan antara brand belief dan brand behavior-nya.

Jadi kembali kepada Anies. Brand belief-nya bang Anies konon bisa merangkul SEMUA kalangan, maka apakah akan selaras dengan brand behavior atau perilakunya? Kita tunggu.

Tidak ada komentar: