Selasa, Desember 13, 2016

Era Dihital, Era Anti-Baper



Dunia internet identik dengan kebebasan, dimana setiap orang bisa berekspresi (hampir) tanpa batas. Fenomena berita hoax di Facebook, komentar kurang ajar di YouTube, perang hestek dan opini di Twitter (Twitwar) adalah efek samping dari kebebasan internet, yang seharusnya cukup diatasi oleh aturan-aturan yang dibuat oleh para penyedia layanan. 

Aturan-aturan tersebut idealnya dapat menyelesaikan perselisihan yang timbul tanpa harus melibatkan hukum/ aparat, sehingga penjara gak penuh-penuh amat dan dompet pengacara gak tebel-tebel amat 😁 . Misalnya, Twitter punya fasilitas block untuk menghindari orang yang meneror/ bullliying, di Facebook kita bisa mengatur siapa yang bisa melihat konten kita, dan ada juga fasilitas dimana kita bisa unfollow kiriman teman tanpa meng-unfriend-nya. Kini Facebook pun didesak untuk membuat filter berita hoax. Sementara situs-situs dewasa punya kebijakan batasan umur yang bisa diperkuat lagi dengan sistem pengamanan untuk membatasi akses dari anak-anak di bawah umur.

Bagaimana dengan postingan yang isinya dianggap bisa meresahkan kehidupan berbangsa dan bernegara? Kalo soal itu, sebenernya solusinya gak perlu canggih-canggih amat. Cukup kita dobel cek kebenaran beritanya atau mintalah klarifikasi dari si pembuat konten. Karena bisa jadi kita salah tangkap apa maksud dari konten tersebut. Kalo ia sudah mengklarifikasi sejelas-jelasnya dan ternyata kita salah duga, harusnya masalah selesai. Ya seperti ….wait for it….🎶  eng ing eng 🎶 …….kasus Ahok. 

Ahok/ pemerintah provinsi DKI mengupload sendiri konten video itu. Kemudian ada yang menyebarkan dengan menambahkan komentar yang provokatif, tanpa meminta klarifikasi langsung dari Ahok tentang apa yang sebenarnya dimaksud dalam video tersebut. Ahok sendiri sudah menglarifikasi dengan jelas maksud perkataannya pada tayangan di bawah ini. 





Gue rasa orang dengan IQ rata-rata dan berpikiran terbuka seharusnya bisa puas dengan penjelasan Ahok tersebut. Tapi kan nyatanya nggak. Ada yang baper, dan merasa harus menunjukkan “tingkat keimanannya” sambil memaksa polisi untuk memenjarakan Ahok. Padahal pihak-pihak bermotif politik/ popularitas dengan sukacita menunggangi isu ini.

Sebuah konten bisa menimbulkan beragam persepsi di kepala setiap orang. Jutaan bahkan milyaran konten malang-melintang di dunia internet, yang kalo kita baper dengan setiap konten itu, bisa dipastikan kita jadi gila. Maka nasihat yang paling bijak adalah untuk jauh-jauh dari internet kalo elo baperan.

Kebebasan berekspresi adalah salah satu buah reformasi yang susah payah diperjuangkan. Jangan sampai sebuah aturan mengebiri kebebasan berekspresi dan kita kembali ke era "penak jamanku, tho?". Jangan sampai karena ada seseorang yang mengupload konten porno ke Vimeo, maka seluruh akses ke Vimeo diblok (#eh). 

Pasal-pasal hukum tentang penghinaan, penistaan, atau apapun yang berkaitan dengan pengekangan kebebasan berekspresi sesungguhnya nggak up to date dengan era digital ini. Siapa sih yang bisa memaksa orang untuk menyukai Jokowi? Memberi mereka saluran untuk berekspresi lebih baik daripada pikirannya mampet dan malah berbuat makar. Nah, kalo udah aksi makar atau terorisme boleh dah aparat turun tangan. Udah ah, yuk kita marah-marah lagi di sosmed...









Tidak ada komentar: