Selasa, Desember 23, 2014

Pasca-Pilpres 2014: Saatnya Kembali ke Bumi

Luar biasa memang Pemilu 2014 ini, terutama pada tahap Pemilihan Presiden. Sampai detik gue menulis tulisan ini, gaungnya masih terasa. Dan bisa-bisa sampai puluhan atau ratusan tahun akan tetap ada. Hebat.

Melihat kondisi masyarakat yang terpolarisasi menjadi dua kubu ini, gue langsung teringat dengan kondisi di Amerika Serikat, yaitu 'pertempuran' abadi antara Republican dan Democrat. Walau sepertinya jumlah mereka yang apatis alias Golput jauh lebih banyak, tapi perdebatan antara kubu Republican dan Democrat cukup gaduh, yang ujung-ujungnya berantem. Sama kan, kayak disini antara kubu Jokowi dan Prabowo? 

Ngelantur dikit. Konon kabarnya, masalah ini sampe membuat retak band Ramones. Johnny Ramone (gitaris) adalah seorang Republican yang cukup fanatik, sementara Joey Ramone (vokalis) seorang Democrat. Sindir-menyindir, cela-celaan sampe rebutan pasangan dikabarkan menyebabkan ketegangan diantara keduanya.

Kalau kita perhatikan, fanatisme berlebihan di bidang apapun akan berujung pada kekacauan. Contoh, perseteruan antar suporter sepakbola. Orang awam mungkin gak habis pikir ngapain masing-masing membela klub sepakbola sebegitunya, sampai ngorbanin nyawa? Tapi bagi Jakmania, Bonek, Viking, dan lain-lain, kebanggaan menjadi amat penting. Dalam hal aliran musik? Tahun '90-an, Punk dan Metal sempat berseteru hebat. Sesuatu yang bisa dikategorikan hal bodoh karena keduanya adalah sama-sama musik Underground. Sampe gue pun pernah menimpa album 'Far Beyond Driven'-nya Pantera dengan lagu-lagu Punk gara-gara gue baru mendengarkan Punk. Bagaimana dengan fanatisme agama? Sama saja. Dan bisa semakin parah kalau sudah dicampuradukkan dengan politik. ISIS, anyone?

Jadi jelas, fanatisme berlebihan itu konyol. Emosi negatif lebih banyak berperan daripada rasio, dan itu pasti berakhir buruk. Jadi sebelum menyesal, janganlah menjadi fanboy militan dan coba kedepankan rasio daripada emosi. Nggak mudah, kalau hati kita udah terbutakan.

Cobalah untuk melihat gambaran besarnya. Lihat fakta sejarah, apakah penguasa yang diidolakan sebegitu fanatiknya akan memberi kemakmuran? Absolut power corrupts absolutely. Tempatkan pemerintah/penguasa pada porsinya, sebagai manusia biasa dan ehm, sebagai orang partai.

Contoh kasus berikut mungkin bisa menjelaskan bagaimana seorang yang rasional bersikap terhadap sebuah isu politk.

Di awal kampanye, Jokowi berkata atau tepatnya, mengindikasikan bahwa nggak akan ada transaksi politik dalam kabinetnya, sehingga akan diisi oleh orang-orang profesional. Kenyataannya, kira-kira setengahnya diisi orang partai. Bagaimana menyikapi ini?

Kubu Prabowo yang fanatik pasti akan dengan mudah menuding Jokowi sebagai pembohong, sementara kubu Jokowi yang tak kalah fanatik akan mengamini kata-kata Jokowi: "Iya orang profesional. Orang-orang partai kan ada yang profesional juga". Walau ada juga (menurut penerawangan gue), kubu Jokowi yang kecewa.

Gue sebagai pemilih Jokowi, bisa saja berada di pihak yang kecewa. Tapi untungnya gue tau sedikit soal Anarkisme dan Libertarianisme, sehingga berharap terlalu besar kepada seorang politikus adalah hal yang konyol. Jadi sikap gue biasa aja, dan bisa menerima kenyataan bahwa Jokowi adalah orang partai politik juga. Berbeda dengan Ahok yang (sampai saat ini) independen. Mustahil bagi Jokowi untuk meniadakan transaksi politik.

Jadi kalau boleh memberi saran, bersikaplah secara proporsional terhadap pemerintah atau kubu politik. Dukung atau kritisi kebijakannya secara wajar, jangan mencintai atau membenci terlalu berlebihan.




























Tidak ada komentar: