Waktu menunjukkan pukul 3 dini hari di
tanggal 9 Juli 2014 ini. Di TV, Sayup-sayup terdengar lagu kebangsaan Jerman
dan Brazil yang akan memulai kickoff semifinal Piala Dunia. Seakan tak mau
kalah dengan pesta sepakbola di Brazil, beberapa jam lagi akan berlangsung
pesta demokrasi Pemilihan Presiden Indonesia 2014.
Sebenarnya malas
menulis tentang Pilpres 2014 ini, karena gue udah membaca banyak blog/artikel
bagus tentang hal ini. Rata-rata berusaha meyakinkan pembaca tentang pilihan
mereka, dengan argumen meyakinkan dan data-data yang lengkap. Nah lalu kenapa
gue nekad nulis juga, padahal gak mungkin menyaingi tulisan-tulisan keren
tersebut? Semata-mata adalah karena rasa malu. Malu karena waktu Pemilihan
Presiden 2009 dengan kandidat SBY-Boediono, JK-Wiranto, dan Megawati-Prabowo,
gue menulis artikelnya disini. Lha, masa untuk pemilihan presiden yang
bersejarah seperti sekarang ini gue gak nulis? Sungguh therlalu…
Apa sik yang
membuat Pilpres 2014 ini menarik, bahkan bagi gue, yang skeptis terhadap
pemerintah dan segala atributnya? Ya, apalagi kalo bukan persaingan sengit
antara Jokowi dan Prabowo. Mereka seakan berada di dua spektrum yang berbeda. Jokowi
sebagai figur yang sederhana, low profile, pekerja keras, sementara Prabowo
terlihat sebagai seorang orator ulung, tegas, dan visioner. Ditambah lagi kedua
kubu suporter sama-sama agresif. Nggak di dunia maya dan dunia nyata, sama galaknya.
Hasil survei pun berlangsung ketat, yang langsung direspon pasar dengan harga
US Dollar yang terus meninggi. Tensi pun gak kalah tinggi di masyarakat, seakan
ibadah puasa yang sedang berlangsung nggak ngaruh.
Tapi apa iya Jokowi
dan Prabowo begitu bertentangan seperti yang dicitrakan? Sebenernya, mereka
juga punya banyak persamaan. Yang pertama adalah mereka sama-sama muncul sebagai
antitesa figur presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam upayanya
menjadi “demokratis”, SBY sering terlihat lamban dan ragu-ragu dalam mengambil
keputusan. Dibanding kepemimpinannya pada periode pertama, kali ini SBY
terlihat lemah seperti halnya tim Brazil yang lagi dibantai Jerman ini (ouch!).
Prabowo yang tegas bin macho lantas menjadi figur ideal bagi mereka yang
mendambakan pemimpin yang punya nyali. Jokowi — walau kalo jalan suka
“klemar-klemer”, menampilkan ketegasan dengan caranya sendiri. Cukup banyak
karyanya yang menuai pujian, seperti penataan pasar-pasar tradisional,
normalisasi waduk Pluit, jaminan kesehatan, dll. yang tentunya memerlukan
ketegasan.
Kesamaan lainnya
adalah mereka sama-sama mengklaim membela kepentingan rakyat. (Iyalah, mana ada
yang mau ngaku membela kepentingan konglomerat?). Penerapannya aja yang beda.
Prabowo lebih menitikberatkan pada sektor pertanian, sementara Jokowi konsen ke
pendidikan dan kesehatan.
Branding and Stuff
Sekarang mari kita
telaah Jokowi dan Prabowo lebih dalam dari sisi branding, yang merupakan bidang
pekerjaan gue. Oke, jadi sama-sama nasionalis dan membela kepentingan rakyat.
Lalu—kalo meminjam istilah advertising—dimana Unique Selling Proposition
(USP)-nya? Ya, bisa diambil dari karakter masing-masing capres. Singkatnya,
Jokowi=pekerja keras, Prabowo=tegas. Sedangkan yang bisa meredam USP itu adalah
isu-isu seputar mereka, atau istilah kerennya: black campaign. Ada juga negative campaign, yaitu berita-berita dengan fakta benar namun ditambahi opini negatif.
Jokowi digosipkan
sebagai capres bonekanya Megawati. Istilah petugas partai diartikan bahwa
Jokowi akan selalu tunduk ama Bu Mega dan PDIP. Revolusi mental disamakan
dengan ajaran Karl Marx dan komunisme (thanks to Fadli Zon). Lalu citranya
sebagai pekerja keras diplintir sebagai orang yang tidak bisa merumuskan visi. Dia dianggap oportunis karena belum menuntaskan jabatan sebagai gubernur Jakarta dan melanggar sumpahnya. Dan terakhir, isu sensitif yang paling mengena di kelas menengah ke bawah
adalah: bahwa Jokowi pro-Kristen dan anti Islam.
Dan bagaimana
dengan Prabowo? Banyak sekali kisah-kisah yang perlu diklarifikasi seputar
mantan Jendral Kopassus ini. Ia digosipkan “ringan tangan”, alias suka
menggampar dan juga melempar HP. Sifat tegasnya pun sering disebut sebagai otoriter, fasis, diktator. Namun isu yang paling
mengena, terutama di kalangan pemerhati HAM adalah: penculikan para aktivitis
1998 oleh Tim Mawar Kopassus yang dikomandoi Prabowo.
Dipilih yo...dipilih...
Kita boleh meriset
dengan rajin, bertanya sana-sini, mencari tahu fakta yang benar tentang kedua
capres, atau menelaah dengan benar apa yang dibutuhkan oleh bangsa saat ini, namun
pada akhirnya tinggal selera alias subyektifitas yang berbicara. Bukan sesuatu
yang tabu, karena begitulah sifat manusia. Ingat, salah satu faktor SBY “laku
keras” jaman dulu adalah karena perawakannya yang gagah. Jadi memilih secara
rasional itu dianjurkan, tapi memilih secara emosional ya nggak bisa dihindari
juga.
Seperti cara gue memilih yang basically menggabungkan antara rasional dan emosional. Mungkin dari gaya
tulisan gue, lo bisa nebak gue mo milih siapa. Ya, pilihan gue adalah Jokowi.
Gue gak peduli ama PDIP, Megawati, bahkan (the great) Sukarno. Gue cuma merasa
lebih relate dengan Jokowi. Sebagai orang yang mencita-citakan negara demokrasi
yang terbebas dari oligarki, prinsip Jokowi yang gak mau melakukan transaksi
politik dengan berbagai partai adalah gagasan yang seksi. Persekongkolan
politik, apalagi ditambah lagi dengan perusahaan-perusahaan tamak alias “korporatisme”
adalah hal yang membuat demokrasi hancur. Jadi gaya egaliter Jokowi lebih dekat
ke gue daripada gaya tegas tapi otoriter model Prabowo. Ditambah lagi ada
wacana Prabowo untuk mengubah model demokrasi di Indonesia yang katanya terlalu
kebarat-baratan. (Demokrasi Terpimpin, anyone?).
Kemudian ada
gerakan masyarakat tak berpartai yang menyokong Jokowi. Ya, walaupun PDIP
terlihat begitu membanggakan kadernya ini—bahkan dalam beberapa hal terlihat
berlebihan, Jokowi sudah lebih besar dari partainya sendiri. Jokowi adalah
milik rakyat. Maka itu, sebagai orang yang nggak punya kepercayaan terhadap
partai (gue golput sewaktu Pemilu Legislatif), tentulah gue pilih yang
sepertinya nggak terlalu partisan.
Sementara
kekurangan di kubu Prabowo menjadi alasan lain untuk memilih Jokowi. Seperti
yang secara gamblang dikatakan Allan Nairn dalam sebuah wawancara disini. Katanya,
kubu Jokowi mungkin dikelilingi para “pembunuh”, seperti Wiranto dan
Hendropriyono. Tetapi di kubu Prabowo, ya Prabowo itulah sang pembunuh.
Dan last but not least, gue milih Jokowi karena dia anak metal \m/. nuff said.
Jadi apakah pilihan
anda? Jokowi, Prabowo, atau golput? Bebas...ini kan demokrasi. Golput
tetap gue hormati karena memilih adalah hal yang personal. Kalo
misalnya gue maksa kalian untuk milih Jokowi, dan kemudian dia nggak berlaku
yang seperti yang diharapkan, gimana? Apa gue bisa kasih refund? Nggak tokh?
Yang ada hanyalah rasa kecewa. Dan rasa kecewa itu yang merasakan adalah tiap
individu. Jadi selamat memilih atau tidak memilih. Btw, selamat buat tim bola
Jerman yang menggilas Brazil 7-1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar