Sabtu, April 23, 2011

Dua Sisi Periklanan

Dalam dunia kreatif periklanan, ada dua paham yang sampai sekarang masih sering mengundang perdebatan. Yang satu dicetuskan oleh Bill Bernbach: “Advertising is fundamentally persuasion and persuasion happens to be not science, but an art (Periklanan pada dasarnya adalah persuasi, dan persuasi itu bukanlah sains, melainkan seni).”

Sedangkan paham yang kedua dicetuskan oleh David Ogilvy: “I do not regard advertising as entertainment or an art form, but as a medium of information. When I write Advertising, I do not want you to tell me that you find it ‘creative’. I want you to find it so interesting that you buy the product" (Saya tidak menganggap Periklanan sebagai hiburan atau suatu bentuk seni, tapi sebagai sebuah media informasi. Saat menulis iklan saya tidak ingin anda menganggap iklan saya itu kreatif atau tidak, tapi saya ingin anda menilainya begitu menarik sampai ingin membeli produk itu).


Perbedaan pendidikan dan pengalaman hidup menyebabkan dua tokoh ini cukup berseberangan. Bernbach yang seorang sarjana sastra Inggris memandang iklan sebagai sebuah karya seni di era modern, sementara Ogilvy yang mantan salesman menganggap iklan semata-mata bagian dari metode pemasaran. Yang satu mengandalkan intuisi, yang satu mengandalkan riset.

Kedua pendapat itu sama-sama mangandung kebenaran tapi juga tak luput dari kekurangan. Sebuah iklan yang dibuat seperti karya seni, biasanya menghasilkan iklan-iklan yang orisinil, kreatif, dikemas menarik sehingga menghibur pemirsanya. Masalahnya, iklan yang terlalu kreatif ini sering membingungkan konsumen (walaupaun mereka bisa terhibur). Banyak kasus dimana konsumen tidak bisa menghubungkan ide cerita dengan produk yang dijual. Orang mungkin teringat terus dengan iklan yang menggambarkan keruntuhan sebuah kebudayaan Yunani, tetapi ia lupa bahwa itu adalah iklan untuk sebuah produk pasta gigi. Keengganan untuk melakukan riset terlebih dahulu juga mengandung resiko iklan menjadi tidak efektif.

Lain halnya dengan iklan yang ditujukan semata-mata untuk penjualan. Iklan berorientasi produk ini berusaha menancapkan pesan sejelas dan segamblang mungkin kepada pemirsa. Walaupun, iklan seperti ini biasanya membosankan, bikin kesal, dan kurang orisinal.

David Ogilvy memiliki beberapa formula untuk sebuah layout iklan cetak. Pertama-tama ia akan menampilkan ilustrasi (biasanya foto) dilengkapi degan caption dibawahnya, lalu ada headline (ia memandang headline sebagai hal utama, sementara ilustrasi sebagai pendukung) yang harus bisa menggerakkan orang untuk membaca bodycopy di bawahnya. Kemudian di pojok kanan bawah tertera logo perusahaan dengan gambar produk yang dijual, atau kalau perlu dicantumkan kupon balasan untuk menerima feedback konsumen. Formula ini ditemukan melalui riset yang dilakukan Ogilvy. Kesimpulan yang diambil, bahwa orang cenderung melihat gambar dulu (yang ada caption-nya), lalu headline, dan baru bodycopy. Ia mengandaikan format ini seperti sebuah artikel di koran. Dan kalau orang mulai bosan dengan format ini (yang selau digunakan berulang-ulang olehnya), ia akan menempatkan ilustrasi di sebelah kiri dan teks di sampingnya, atau memperkecil ukuran ilustasi dan menambah porsi teks. Tapi sesungguhnya iklan-iklan tersebut tidaklah jauh berbeda alias monoton. Ogilvy memang tidak memperdulikan hal ini, ia beranggapan iklan harus menarik untuk dibaca, bukan untuk dilihat. Ia juga tidak suka menggunakan unsur humor (pendapatnya: orang tidak akan membeli dari badut), walaupun belakangan dilanggarnya sendiri setelah dalam riset ditemukan bahwa humor ternyata bisa menjual.

Jadi apa kesimpulannya? Apakah kita harus memilih antara membuat iklan yang bercitarasa seni tinggi tapi anjlok di pasaran, atau membuat iklan yang biasa aja tapi sukses dalam menjual produk/jasanya? Bill Bernbach atau David Ogilvy? Orisinalitas atau Penjualan? Hard Sell atau Soft Sale? Tidak seekstrem itu. Bernbach dengan DDB (Doyle Dane Bernbach)-nya dapat membuat iklan yang kreatif dan orisinal tapi sekaligus juga menjual, begitu juga dengan George Lois, alumni DDB yang mendirikan PKL (Papert Koenig Lois). Iklan-iklannya fenomenal tapi dapat dipertanggungjawabkan dari segi penjualan. Walaupun, seperti yang diakui George Lois bahwa dalam menggodok ide kadang-kadang seorang creative terlalu berlebihan sehingga tidak mendapat respon yang diinginkan dari target audience. Di lain pihak, David Ogilvy dari Ogilvy & Mather juga tidak sekaku yang dikira. Ia tidak mengekang kreativitas, malah katanya aturan-aturan yang dibuatnya sebagai “guidelines to creativity”. Iklan-iklan yang dihasilkannya walaupun cenderung serupa, tapi mempunyai ide besar (big idea) yang menarik, seperti iklannya untuk kemeja Hathaway yang menampilkan seorang pria dengan penutup mata. Figur misterius itu menarik pemirsa yang kemudian berujung pada penjualan kemeja Hathaway yang meningkat pesat.

Periklanan mempunyai dua sisi. Fitrahnya memang sebagai alat untuk menjual produk/jasa kepada konsumen. Tapi konsumen adalah manusia, maka untuk dapat menggerakkan mereka (apalagi di era modern) sesuai dengan kemauan kita diperlukan pendekatan yang manusiawi, dimana unsur seni banyak berperan. Perpaduan yang serasi antara seni dan ilmu pemasaran inilah yang dapat membawa dunia periklanan ke tingkat yang lebih baik. Ia tidak akan dipandang sebagai perpanjangan tangan kapitalis yang hanya mencari untung belaka, tetapi masyarakat akan melihat iklan sebagai sebuah kebutuhan, sebagai bagian dari kehidupannya sebagai manusia. Seperti kata David Ogilvy: ‘perlakukanlah konsumen seperti istri anda’, atau kata George Lois: ‘Orang yang dilecehkan dalam sebuah iklan bisa jadi istri anda’.

Daftar Pustaka:
1. Ogilvy, David. Ogilvy On Advertising. London: 1983. Pan Books, ltd.
2. Dobrow, Larry. When Advertising Tried Harder. New York:1984. Friendly Press, Inc.
3. Lois, George and Pitts, Bill. The Art of Advertising. New York: 1977. Harry N. Abrams, Inc.
4. Caples, John. Tested Advertising Methods. Englewood Cliffs, N.J.: 1980. Prentice-Hall.Inc.



Ini artikel lama yang iseng gue tulis di tahun 2000 sewaktu magang di Matari Advertising, memanfaatkan koleksi buku-buku keren di perpustakaannya. Pas gue baca lagi, kok masih relevan, ya? Ya ga seeh....

Tidak ada komentar: