Minggu, Desember 26, 2010

Adu Referensi, Miskin Esensi

Belum lama gue menyaksikan sebuah event yang menampilkan band2 independen (Indie) yang (katanya) cukup disegani. Gue datang berharap mendapat pencerahan karena udah lama nggak liat acara musik model beginian. Namun yang gue temui hanyalah fakta usang bahwa penyakit musisi indie Indonesia belum juga terobati. Apakah penyakit itu, sodara2? Orisinalitas yang minim.


Hampir semua band yang tampil nggak punya karakter yang kuat. Mereka mengingatkan gue dengan band2 indie luar negeri. Paling nggak ada dua band yang bisa gue identifikasi meniru siapa. Satu mirip Arcade Fire dan satu lagi mirip Oasis. Bisa jadi band2 nggak gue identifikasi meniru band indie luar yang gue belum tau. Penjiplakan ini diperparah lagi dengan lirik lagu yang semuanya berbahasa Inggris. Setega itukah para musisi indie menganggap bodoh para penontonnya? Apakah menurut mereka, penonton akan bersorak karena bisa meniru Arcade Fire dengan sempurna?

Mungkin harapan gue yang terlalu tinggi. Karena gue pikir, masa sih dari era Poster CafĂ© di tahun ’90-an sampai sekarang nggak ada perkembangan yang berarti? Satu2nya kemajuan cuma mereka membawakan lagu2 sendiri, dulu band cover masih cukup banyak.

Bisa jadi, dan sangat mungkin band2 indie itu melakukan penjiplakan dengan tidak sengaja karena terlalu mendewakan referensi. Bidang kreatif seperti musik emang lekat benar dengan referensi. Ia adalah tolak ukur kita, alat motivasi untuk membuat karya yang lebih hebat lagi. Tapi, referensi juga bisa berbahaya. Begitu kita meng-“abuse”-nya, hasilnya akan mengerikan. Kita bisa kehilangan jatidiri, mempertanyakan pemikiran sendiri akan bagus nggaknya sebuah karya. Dan pada akhirnya menyerah (entah sadar atau nggak) untuk membuat karya yang serupa dengan referensi yang kita kagumi.

Apapun alasannya, membuat karya yang kurang orisinal adalah dosa besar di dunia musik independen. Kejujuran adalah salah satu nilai yang dijunjung tinggi karena musik independen adalah tempat mereka yang pede dengan diri mereka sendiri dan ga mempedulikan kata orang. Sehingga musisi independen pun dimaafkan dari kecakapan bermusik. Lo ga perlu jago solo gitar atau solo drum asal punya karakter sendiri, pasti diacungi jempol. Materi atau apresiasi hanyalah akibat dari totalitas berkarya.

Ignorance is bliss. Kadang ketidaktahuan/kekurangan referensi membawa berkah. Itulah yang terjadi pada musisi2 Indonesia di tahun 1950-1980an. Itu adalah masa referensi musik di Indonesia belum semudah sekarang. Sehingga mau gak mau mereka lebih orisinal. Koes Plus, walaupun punya influence dari The Beatles, tapi masih punya ciri sendiri. Terlebih lagi dari segi lirik yang cukup “Indonesia”. Beda dengan sekarang, yang agaknya kebanyakan lihat YouTube untuk meniru habis2an sang musisi idola. Sehingga panggung menjadi tempat adu keren2an referensi musik.

Gue berharap para penjiplak ini cuma minoritas. Gue yakin masih ada band2 indie Indonesia yang punya integritas dan nggak takut menampilkan jati dirinya sendiri. Potensi kreatif kita sangat tinggi, tinggal masalah percaya diri.



2 komentar:

fredian bintar mengatakan...

tapi ada juga yang menjadi diri sendiri malah di "brandel". ternyata, pembrandelan sudah masuk ke ranah "indie" lho. hahahaha

salam

Punkdhut mengatakan...

hehe...yah, kadang terlalu ekstrim dlm menjadi sendiri bisa berujung pada pembredelan. waspadalah...