Minggu, Februari 14, 2010

Asal-usul Orang Sotoy

Kalian pasti pernah menjumpai orang2 yang gayanya sok tau, kan? Itu mereka yang banyak omong, padahal isi otaknya kosong? (nyampah mode on) Nah…pernahkan kalian bertanya-tanya, dari manakah mereka berasal? Maksud gue, apa yang menyebabkan mereka bertingkah laku menyebalkan seperti itu? Apa karena titit (yes, I said titit) mereka yang kecil jadi harus mengkompensasi dengan banyak bacot? Ataukah hasil kombinasi mutasi gen yang ngaco? Atau apa?


Beberapa waktu yang lalu gue menemukan salah satu jawabannya.
Ceritanya nih, gue lagi ada kerjaan syuting iklan yang berlokasi di sebuah rumah di pemukiman elit. Tinggal di sana adalah keluarga muda yang tentu saja lumayan tajir. Sang bapak pemilik rumah ternyata orang yang “turun ke bumi” alias down to earth. Ia sering terlihat berbasa-basi dengan para kru film dan tim agency iklan. Biasanya, pemilik rumah ngumpet aja di dalem atau ngungsi kemana gitu.

Singkat cerita, si bapak yang doyan ngomong ini berkisah tentang bagaimana ia telah menyekolahkan anaknya ke Taiwan. Mengapa Taiwan? Katanya biar bahasa Mandarinnya lancar. Di kemudian hari, menurutnya bahasa Mandarin akan semakin diperlukan karena Cina makin dominan sebagai kekuatan ekonomi global. Mereka yang mahir berbahasa Mandarin pasti makin dibutuhkan. Wah, setuju banget gue. Salut banget ama bapak ini. Udah easy going, punya visi ke depan pula. Gue jadi pengen diadopsi! Tapi kemudian gue dibikin takjub. Dia berkata, yang penting mah belajar bahasa Mandarin aja ampe lancer, jago ngomong. Masalah skill laennya mah ga penting. Asal pinter ngelobi, pasti karir gampang melejit. Buset dah. Langsung ngedrop gue.

Gue ga tau si bapak ini serius apa nggak dengan ucapannya. Kalo iya, ini mah sama aja ngajarin anak jadi tong kosong nyaring bunyinya. Ngomong sana-sini tanpa ngerti permasalahan sesungguhnya, yang penting posisinya enak. Gaswat! Jangan2 kekayaan si bapak juga diperoleh dengan cara begini. Andaikata semua orang tua mendidik anaknya seperti dia, populasi orang2 sok tau akan berlebihan, sehingga bisa jadi nggak ada yg kerja. Wong semua orang bisanya ngebacot doang? Gue cuma bisa berharap sang anak cukup keras kepala untuk nggak mengikuti nasehat bapaknya yang kurang arif apalagi bijaksana ini.

Peribahasa “diam itu emas” emang udah ketinggalan. Gue terlalu sering menyaksikan (bahkan mengalami) dimana akibat terlalu low-profile, si A yang bekerja lebih keras kurang dihargai. Sementara si B yang banyak omong dipuja2 dan disegani. Di lain pihak, bukan berarti kita harus jadi “tong kosong nyaring bunyinya”. Bicara cukup, kerja lebih banyak. Dan stay humble, lah. Seperti kata Kang Ebet Kadarusman di acara Salam Canda, “It’s nice to be important, but it’s more important to be nice.”

Tidak ada komentar: