Minggu, Januari 03, 2010

R.I.P The Gusfather

Berita meninggalnya Gus Dur pada tanggal 31 Desember 2009 kemarin emang cukup mengejutkan. Tapi yang bikin gue lebih takjub adalah begitu banyaknya ekspresi duka cita yang muncul di media massa. Praktis setelah wafatnya beliau, tiap halaman koran dan siaran TV dibanjiri ucapan bela sungkawa.

Mengapa mengherankan? Karena semasa hidupnya cukup banyak pula orang yang mencaci Gus Dur. Ia disebut sebagai agen Yahudi, CIA, kiai buta, dlsb. Coba, berapa banyak guyonan tentang kebutaan Gus Dur yang diceritakan tanpa rasa bersalah?


Keikhlasan ucapan duka cita itu patut dipertanyakan. Apakah karena Gus Dur disebut-sebut sebagai tokoh pluralis, sehingga mereka yang berbelasungkawa pun ingin terlihat sebagai pluralis, humanis, demokratis atau apalah namanya? Padahal semasa Gus Dur hidup, boleh jadi mereka jadi sasaran kritik Gus Dur sehingga berdiri di sebelahnya pun mereka tak sanggup.

Tapi mungkin di alam sana, Gus Dur nggak ambil pusing dengan kelakuan para penjilat itu. Ucapan "gitu aja kok repot" adalah warisan terbesar Gus Dur dalam menyikapi segala keganjilan di negeri ini.


Gus Dur The Gusfather

Gus Dur adalah seseorang yang melebihi jamannya. Di saat negara ini masih tergagap-gagap berdemokrasi, ia muncul sebagai figur yang mungkin “terlalu demokratis”. Kadang gue berpikir, alangkah idealnya Gus Dur menjadi presiden APABILA negara kita sudah dewasa. Sayang sekali kehadirannya terlalu prematur sehingga bikin alergi beberapa orang.


Kita sungguh kehilangan negarawan yang bukan cuma pintar, tapi menghibur. Konon, Gus Dur pernah bercerita, atau tepatnya berkelakar soal presiden2 Indonesia yang semuanya gila. Presiden Soekarno=gila wanita, presiden Soeharto=gila harta, presiden Habibie=gila teknologi, dan kalo dia sendiri (Gus Dur), para pemilihnya yang gila! Sebuah guyonan
self-deprecating yang hanya bisa dilontarkan seseorang yang luar biasa jujur dan nggak jaim.

Pernah juga gue dengar soal bagaimana Gus Dur mendidik anaknya. Waktu itu anak bungsu Gus Dur, Inayah, mengecat rambutnya dengan warna merah ngejreng. Beritanya ada di mana2. Tapi Gus Dur nggak marah atau melarang sama sekali. Katanya, biar Inayah yang malu sendiri. Benar saja, lama-kelamaan Inayah mengecat hitam kembali rambutnya karena nggak tahan dengan publikasi yang meluas. Ternyata demokrasi diberlakukan juga di keluarganya.

Gus Dur emang mempunyai kekurangan fisik, tapi hatinya lebih ganteng dari kebanyakan orang.
Indonesia perlu belajar untuk respek terhadap seseorang nggak dari permukaannya saja. Ciao, my Gusfather...

Tidak ada komentar: