Jumat, November 13, 2009

Greedy Dad Modest Dad

Mungkin (mungkin lhoo...) pada dasarnya sifat orang bisa dibagi dua: yang tamak dan yang sederhana. Agama sepertinya mengajak kita pada yang kedua. Tapi seberapa sederhanakah? Dan benarkah manusia harus puas dengan apa yang dipunya tanpa ada keinginan untuk menambah lagi?

Tinggal di kota besar seperti Jakarta mau gak mau kebanyakan dari kita terseret ke kubu tamak. Menjadi konglomerat, punya 5 mobil, apartemen mewah, dan kapal pesiar agaknya jadi aspirasi setiap orang. Nggak, gue nggak punya itu semua dan terus terang mungkin gue blom siap berjibaku untuk meraih semuanya. Tapi impian itu tetap ada.


Dan kemudian gue ketemu temen lama gue yang tinggal di Jogja, sebutlah namanya Budi. Budi kerja sebagai sales yang menawarkan fasilitas kredit motor. Dia pilih pekerjaan itu karena waktunya fleksibel, lebih sering jalan2 sehingga ga nongkrong di kantor terus dan kadang sebelum jam 5 pun sudah pulang. Jadi ia punya waktu lebih dengan anak istri. Saking merasa nyaman dengan pekerjaannya ini, ia menolak promosi dari bosnya karena pekerjaan barunya itu nggak sesantai sekarang. Gue tanya, ga mau pindah lagi ke Jakarta? (Dia teman sekolah gue di Jakarta). Jawabnya, ia udah cukup puas dengan keadaannya sekarang. Punya istri dan anak, rumah kontrakan, motor, dan pekerjaan udah lebih dari cukup. Untuk apa menambah penat dengan pindah ke Jakarta yang udah sumpek? My mind literally struck by lightning at that time.

Kurang ambisiuskah temen gue itu? Apakah ia bagai katak dalam tempurung? Atau justru ialah contoh teladan hidup? OMG, ini sangat bertentangan dengan nasehat Robert Kiyosaki di buku "Rich Dad Poor Dad". Sekilas, temen gue itu seperti si poor dad yang pathetic. Tapi sebentar...gue melihat sedikit perbedaan. Temen gue itu bahagia! Beda dengan si poor dad yang dilukiskan sebagai seorang idealis yang penggerutu. Si poor dad-nya Kiyosaki ini sepertinya orang yang ingin kaya tapi ga kesampaian atau muak dengan cara2nya, sedangkan temen gue emang ga pengen kaya! Si Robert seakan2 mengatakan satu2nya cara untuk bahagia adalah memiliki materi yang elo mau. Nah, temen gue itu udah bahagia dengan apa yang ia punya. Buat gue, Robert Kiyosaki dan si Budi sama2 telah mencapai kebahagiaan. Bedanya, kebahagiaan Kiyosaki adalah duit trilyunan sedangkan kebahagiaannya si Budi adalah bisa makan nasi kucing di angkringan sambil ngangkat 1 kaki.


Gue senang sekali melihat orang seperti Budi yang nggak terlalu mendewakan materi atau terlalu Jakarta-sentris seperti orang kebanyakan. Gue juga merasakan hal yang sama ketika tinggal di Bandung. Pola hidup yang lebih santai dan tenang sangat kontras dengan Jakarta yang serba bikin stress dan materialistis.


Tapi bagaimana caranya untuk menambah wawasan dan pengalaman selain mempunyai ambisi yang besar? Kalo gue tetep di Bandung, mungkin gue ga akan bisa bikin iklan TV, ketemu klien dengan sejuta perangai, ditraktir seafood oleh PH sampe mabok, dugem sampe ampir mabok, dll. Gue menikmati itu semua tapi mungkin nggak ada artinya buat si Budi. Tiap orang emang punya jalannya masing2. Which one are you?



Tidak ada komentar: