Sabtu, Maret 28, 2020

Coronaphobia: Akhir dari Kaum Santuy


“Santai aja kale…”

“Chill aja cuy….”

“Jangan parno-parno amat lah!”

Dulu, kalo kata-kata itu ditujukan ke gue saat gue bersikap terlalu khawatir, mungkin gue akan malu dan coba menenangkan diri. Tapi sekarang, di tengah pandemi Covid-19 yang makin gila ini, orang yang ngomong begitu ke gue bisa gue gampar. Yup, menjadi tenang, cool, santuy, chill itu soo last yearr. Nggak bikin lu jadi keren lagi. Malah terlihat tolol.

Ini adalah tahunnya orang-orang parno. Mereka yang kerap kita ledek karena berlebihan dalam menjaga kebersihan: membawa alat makan atau makanan sendiri; teramat rajin membersihkan lantai, meja, perabotan rumah; mencuci tangan dengan baik dan benar; selalu langsung mandi selepas aktivitas di luar dll., yang sekarang menjadi standar prosedur yang disetujui WHO untuk menghindari virus Corona yang terkutuk.

Di saat seperti ini, nggak ada istilah ‘terlalu berhati-hati’ karena begitu banyak alasan untuk khawatir, seperti:

1. MUSUH YANG DIHADAPI TAK TERLIHAT!
Ya eyalah, namanya virus emang nggak kelihatan karena ukurannya bisa sampai 125 nanometer (0,000125 milimeter)! Kalo pandemi ini diibaratkan perang, maka virus Corona adalah seperti ‘pasukan hantu’ yang bisa menyerang dari mana saja. Hantu ini jelas lebih nyata dari ‘Hantu PKI’.

2. SULIT DIDETEKSI!
Masa inkubasi virus yang tak menentu membuat pendeteksian jadi sulit. Rata-rata memang 5 hari, namun ada juga orang yang menunjukkan gejala Covid-19 setelah 27 hari. Selama masa inkubasi itu, orang yang nggak menunjukkan gejala menjadi sumber penyebaran virus tanpa disadari.

3. DAYA TULAR YANG TINGGI!
Dibanding SARS dan MERS, sepertinya (karena masih berjalan) death rate Covid-19 lebih rendah, tapi daya tularnya lebih dahsyat! Satu orang bisa menularkan ke tiga orang atau lebih. Maka nggak heran kalo jumlah penderita melonjak dari hari ke hari. Sampai tulisan ini dibuat, sudah ada 601.518 orang yang terinfeksi virus Corona di seluruh dunia (SARS = 8.437 kasus, MERS = 2.499 kasus).

4. GEJALA MILD ITU NGGAK MILD!
Seperti yang disampaikan Donald G. McNeil Jr., seorang wartawan senior New York Times semasa ia meliput di Tiongkok, 80% kasus Covid-19 digolongkan sebagai ‘Mild’ (sedang) dan 20%-nya disebut ‘Severe’/ ‘Critical’ (parah). Nah, gejala ‘Mild’ yang dimaksud itu adalah mulai dari tanpa gejala (asimtomatik) sampai pneumonia. Ya mending kalo lu asimtomatik, kalo pneumonia? Nggak enak jugak. Kalo ‘Severe’ itu yang sampai memerlukan alat bantu pernafasan.

5. PEMERINTAH SOK SANTUY!
Gue tau maksudnya supaya rakyat nggak panik, seperti yang tersirat dari wawancara sang jubir Kemenkes, Pak Yuri di podcast-nya Deddy Corbuzier. Dia mengatakan pemerintah itu ibarat ayah yang menafkahi anaknya. Sang anak nggak perlu tau gimana perjuangan ayah mencari uang. Intinya mah tenang aja, pemerintah bekerja (dalam senyap) kok. Walau sepertinya dalam tempo yang lambat dan kurang koordinasi. 

Menkes Terawan pun banyak menjadi sorotan karena terkesan menggampangkan masalah. Walau pernyataan-pernyataannya benar—seperti soal penggunaan masker bagi yang sakit, Covid-19 bisa sembuh sendiri (karena memang belum ada obatnya, dan kasus-kasus ringan)—tapi gaya penyampaiannya yang sambil cengengesan nggak klop dengan psikologis masyarakat yang penuh kecemasan. 

Tapi yang paling blunder adalah saat wabah sudah mulai di negara-negara luar Indonesia, pemerintah malah memberikan insentif untuk menggenjot pariwisata. Lagi-lagi niatnya baik untuk membantu industri yang sedang menurun, tapi terasa nggak etis.

6. MASYARAKAT NGGAK DISIPLIN!
Kedisiplinan dan orang Indonesia emang nggak klop. Dari jaman baheula dibilang jangan buang sampah sembarangan, masih aja dilakukan. Nah ini baru mulai kampanye Physical Distancing, konsep yang amat bertentangan dengan tabiat masyarakat yang cenderung ekstrovert, suka kumpul-kumpul ama teman dan keluarga. Jelas tantangan yang berat. 

Belum lagi segelintir pemilik kavling surga yang kekeuh dengan sikapnya: lebih takut kepada Tuhan daripada kepada virus. Padahal jelas bahwa selain berdoa, kita pun harus berikhtiar. Dan beribadah dalam suasana darurat pun diberi keringanan, seperti sholat Jumat yang biasanya berjamaah di masjid diganti dengan sholat Dzuhur di rumah.

Baru-baru ini kita dengar rangkaian gelombang pemudik dari Jakarta ke berbagai daerah karena takut dengan kasus Covid-19 yang terus meningkat di Jakarta. Berkurangnya pendapatan mereka di Jakarta akibat kampanye Physical Distancing juga menjadi alasan mudik yang bikin gue terenyuh. Tapi tetap saja sebaiknya mereka nggak melakukan ini karena mirip dengan proses penyebaran virus dari Wuhan ke seluruh Tiongkok saat Tahun Baru Cina. 

7. PELAKU BISNIS BERMENTAL BOOMER!
Himbauan pemerintah agar perusahaan-perusahaan menerapkan kerja dari rumah/ Work From Home (WFH) masih belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Ya memang nggak semua pekerjaan bisa dilakukan WFH tapi banyak juga perusahaan yang nggak menuruti himbauan simply karena mereka enggan! Bukan masalah kesiapan teknologi, tapi lebih karena ‘mental boomer’ bahwa bekerja itu kudu datang ke kantor mengisi daftar hadir. Suatu hal yang bisa bikin Tim Ferriss, pengarang buku ‘The 4-Hour Workweek’, kejang-kejang.

Daftar ini bisa lebih paaaaanjang lagi tapi gue nggak mau bikin lo tambah stress. Rasa cemas itu bagus agar kita waspada, tapi jangan juga berlebihan karena malah bisa memicu Psikosomatis, yaitu saat alam bawah sadar kita mempengaruhi fisik kita sehingga timbul gejala-gejala seperti penyakit yang kita takuti.

Jadi ada baiknya kita fokus ke hal-hal yang memberikan optimisme. Seiring bertambahnya kasus Covid-19, pemerintah sepertinya mulai rada ‘ngegas’. Berbagai alat-alat bantu seperti APD, masker yang dibutuhkan petugas medis pun mulai ditambah. Wisma Atlet disulap menjadi rumah sakit khusus Covid-19. Pemerintah-pemerintah daerah berani membuat kebijakan mengamankan daerahnya, seperti mengisolasi para pemudik dari Jakarta. Bahkan beberapa warga perumahan berinisiatif me-“lockdown” daerahnya. Kantor-kantor pun makin banyak yang menerapkan WFH atau pengurangan jam kerja. Bisa dilihat dari berkurangnya jumlah pengguna kendaraan umum, seperti Transjakarta, MRT dan KRL sehingga bisa melakukan Physical Distancing.

Semoga kita bisa melewati pandemi ini sehingga ‘kaum santuy’ bisa kembali mendapat tempat. Tapi kebiasaan-kebiasaan baik seperti menjaga kebersihan dan kesehatan harus dipertahankan. Oh, WFH dan pengurangan jam kerja juga hehehe... 

Tidak ada komentar: