Selasa, Oktober 27, 2009

Liga Primer Inggris: Kesenjangan Sosial Yang Menggelikan

Gue masih dalam suasana berduka waktu menulis ini usai melihat tim kesayangan gue, Blackburn Rovers digulung Chelsea, 5 gol tanpa balas. Gue setengah setuju dengan para komentator yang bilang malam itu Rovers nggak bermain dengan determinasi alias patah semangat, beda dengan jaman kepelatihan Mark Hughes, apalagi era kejayaan Alan Shearer.


Dari awal, Big Sam sudah menurunkan formasi defensif, dengan menumpuk 5 pemain tengah, dan menyisakan 1 striker. Gue amat sangat tidak suka dengan formasi ini yang menyalahi kodrat Rovers sebagai tim yang doyan menyerang. (permainan fisik sehingga Rovers dijuluki “The Bully Boys” baru muncul saat mereka berjuang dari zona degradasi. Di lubuk hati terdalam, Rovers adalah tim menyerang). Sang komentator juga bilang Rovers salah strategi dengan menerapkan negatif football untuk melawan tim sekelas Chelsea. Dan benar, hasilnya pemain2 Chelsea memborbardir pertahanan Rovers yang emang nggak sedisiplin timnas Italia.

Tapi hei…sebelum anda mencela kenegatifan sepakbola Rovers….bisa saja tokh Big Sam hanya bersikap realistik? Coba bandingkan materi pemain yang dimiliki Blackburn Rovers dengan Chelsea. Dengan uang berlimpah dari Roman Abramovich, Rovers jadi terlihat kayak tim kelas tarkam. Chelsea punya 2 striker kelas kakap, Didier Drogba dan Nicholas Anelka (gaji mereka berdua mungkin akan menghabiskan seluruh anggaran gaji Rovers). Belum lagi di bangku cadangan masih ada Deco, Sturridge, dll yang semuanya juga layak menjadi starter. Sementara pemain cadangan Rovers ya emang layaknya jadi pemain cadangan. Kalaupun Rovers bermain “positif”, menahan seri sudah sebuah prestasi gemilang.

Kesenjangan sosial antar tim Big Four (Manchester United, Liverpool, Chelsea, Arsenal) dengan tim2 lainnya emang berlangsung sejak lama. Hanya sedikit yang bisa mendobrak kemapanan mereka. Salah satunya adalah Blackburn Rovers di musim 1994-1995. Hal ini dimungkinkan dengan dukungan penuh dari pengusaha Jack Walker yang mengucurkan dana yang nggak sedikit untuk mendatangkan manager Kenny Dalglish, dan pemain bintang, seperti Alan Shearer dan Chris Sutton. Ditambah daya juang yang tinggi, Rovers pun berhasil mematahkan dominasi the big four.

Tapi kini, hal itu sepertinya akan sulit diulangi oleh tim2 lainnya. Mengapa? Karena penghamburan uang semakin merajalela, dikompori oleh Chelsea yang memakai dana tak terbatas dari Roman Abramovich. Ya, duit seakan-akan jadi modal utama apabila sebuah tim ingin berbicara di Liga Primer. Langkah Chelsea ini coba diikuti oleh Manchester City yang membeli pemain bintang seperti kacang goreng. Sehatkah ini semua? Buat para pemain yang digaji jutaan Euro sih asik2 aja. Tapi efeknya, Liga Primer Inggris akan tetap menjadi liga milik tim2 kaya dan meniadakan tim2 lain yang kebetulan mempunyai dana pas2an.Betul bahwa semangat juang tim2 gurem kadang begitu tinggi sehingga bisa menjungkirbalikkan berbagai prediksi, tetapi itu peluangnya kecil sekali. Paling2 terjadi saat derby atau saat tim gurem itu ingin lepas dari zona degradasi. Selebihnya, adalah pertandingan yang tidak berimbang.

Dari sisi penonton, terjadi keterbatasan pilihan pertandingan. Mereka baru “ngaceng” kalo yang bertanding itu tim Big Four, seperti MU vs Chelsea. Sedangkan kalo salah satu tim The Big Four melawan tim lain, seperti Arsenal vs Birmingham, mereka sedikit terangsang untuk menebak berapa jumlah gol yang akan bersarang di kandang Birmingham atau bisakah Birmingham menahan seri Arsenal? Dan kalo yang bertanding adalah 2 tim gurem, seperti Sunderland vs Burnley, hampir dipastikan para penonton pergi tidur.

Anehnya, kesenjangan sosial tersebut jarang ditemui pada olahraga profesional di Amerika Serikat, yang sering dituding sebagai biangnya kapitalisme. Gue ga akan ngomongin liga bolanya yang emang masih kalah di banding liga Eropa, tapi cobalah liat kompetisi NBA. Semua tim benar2 diberi kesempatan yang sama untuk menang. Salah satu caranya adalah dengan menerapkan salary cap, yaitu jumlah gaji maksimal yang bisa dibayar sebuah tim kepada pemainnya. Apabila ada yang melanggar, sanksinya sangat berat. Belum lagi sistem perekrutan pemain yang bernuansa “sosialis”. Tim yang memiliki rekor pertandingan terburuk pada kompetisi terakhir akan memperoleh kesempatan lebih besar untuk mendapatkan pemain terbaik di ajang perekrutan (NBA Draft). NBA juga terbiasa dengan sistem barter pemain, bukan jual beli pemain dengan nilai transfer yang gila2an.

Hasilnya? Ga ada tim NBA yang benar2 mendominasi. Tim2 yang berbeda menjadi juara, seperti Boston Celtics, Detroit Pistons, Lakers, Chicago Bulls, Dallas Mavericks, San Antonio Spurs, Miami Heat. Sistem perekrutan dari para pebasket kampus pun memungkinkan regenerasi pemain terus terjaga. Pertandingan antar tim berjalan seru karena materi pemainnya ga berbeda jauh. Tinggal bagaimana tim itu meramu strategi dan memotivasi pemain untuk jadi pemenang.

Agaknya Liga Primer Inggris perlu mengadopsi sedikit unsur “sosialisme” ala Amerika demi sebuah kompetisi yang adil dan seru. Kalo nggak, pilihan tim dukungan akan itu2 aja. Masa dari 20 tim Liga Primer yang bagus cuma 4? Such a waste. We want freedom of choice, not freedom from choice.

Tidak ada komentar: